Praktisi Hukum Soroti Pencopotan Sekda Pemalang: “Berpotensi Cacat Administratif dan Langgar Asas Meritokrasi ASN”

IMG 20251007 WA0021
banner 120x600

Praktisi Hukum Soroti Pencopotan Sekda Pemalang: “Berpotensi Cacat Administratif dan Langgar Asas Meritokrasi ASN”

RadarsindoPemalang.com –  Pemalang –  7 Oktober 2025 — Pencopotan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Pemalang, Heriyanto, dari jabatannya dan penempatannya sebagai Staf Ahli Bupati bidang Pembangunan, Ekonomi, dan Keuangan, menuai sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum dan pemerhati tata kelola birokrasi.
Langkah tersebut didasarkan pada Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 19199/RAK.02.03/SD/F/2025 tertanggal 3 Oktober 2025, yang berisi rekomendasi hasil uji kompetensi pejabat pimpinan tinggi pratama di Kabupaten Pemalang. Selain itu, pelantikan juga mengacu pada Keputusan Bupati Pemalang Nomor 800.1.3.3/010/TAHUN 2025 tentang mutasi atau rotasi jabatan pimpinan tinggi pratama di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pemalang.
Namun, kebijakan tersebut kini dipertanyakan legalitasnya dari sudut pandang hukum administrasi negara dan asas kepatutan dalam manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN).
⚖️ Imam Subiyanto: “Cacat Asas, Tidak Bisa Dibenarkan Secara Hukum Administrasi Negara”
Praktisi hukum sekaligus akademisi, Dr.(c). Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, menilai bahwa mutasi Sekda menjadi staf ahli bukanlah tindakan administratif biasa, melainkan demosi terselubung yang secara hukum dapat dikualifikasikan sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) apabila tidak disertai dasar objektif dan hasil uji kompetensi yang benar-benar sesuai dengan rekomendasi BKN.
“Dalam tata hukum kepegawaian, memang benar Bupati memiliki kewenangan melakukan mutasi pejabat tinggi pratama, tetapi kewenangan tersebut bukanlah kekuasaan absolut. Ia dibatasi oleh asas legalitas, proporsionalitas, dan kepatutan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,”
tegas Imam kepada wartawan, Senin (7/10/2025).
Menurut Imam, apabila seorang Sekda yang masih aktif dan tidak sedang menjalani proses disiplin atau evaluasi kinerja tiba-tiba dipindahkan ke jabatan staf ahli tanpa alasan yang sahih, maka secara substansi tindakan itu bukan “rotasi”, melainkan penurunan jabatan (demosi) yang melanggar prinsip asas kepastian hukum dan keadilan bagi ASN.
🧾 Rekomendasi BKN Tak Sama dengan Legitimasi Demosi
Imam menegaskan, rekomendasi BKN dalam surat Nomor 19199/RAK.02.03/SD/F/2025 tidak dapat dijadikan dasar yuridis tunggal untuk memindahkan Sekda ke jabatan yang lebih rendah.
“Surat BKN itu sifatnya hanya rekomendatif dan teknis administratif, bukan keputusan yang memiliki daya eksekutorial. Artinya, Bupati tetap harus menindaklanjuti dengan keputusan yang berdasar pada penilaian objektif dan kebutuhan organisasi, bukan sebagai alat pembenaran politik,”
terang Imam.
Ia menambahkan, jika hasil uji kompetensi ASN digunakan untuk mengeliminasi pejabat yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan politik kepala daerah, maka hal tersebut telah keluar dari asas netralitas ASN dan termasuk maladministrasi struktural.
“Ini bisa digolongkan sebagai bentuk abuse of power, karena esensi uji kompetensi adalah menilai kesesuaian jabatan, bukan mencari legitimasi untuk menyingkirkan seseorang,” tambahnya.
Lebih jauh, Imam mengingatkan dasar normatifnya: Pasal 73 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN serta Peraturan BKN Nomor 5 Tahun 2019 yang menegaskan bahwa setiap mutasi harus mempertimbangkan kompetensi, prestasi kerja, rekam jejak, dan kebutuhan organisasi. Bila keempat unsur itu tidak terpenuhi, maka keputusan mutasi menjadi cacat hukum administratif.
🧩 Asas Merit dan Keadilan ASN Dilanggar
Menurut Imam, kebijakan mutasi Heriyanto justru berpotensi melemahkan sistem meritokrasi ASN yang selama ini menjadi dasar reformasi birokrasi nasional.
“Jika pejabat yang berintegritas dan kompeten justru dimutasi tanpa alasan proporsional, itu menandakan adanya degradasi nilai merit. Konsekuensinya, ASN menjadi apatis, takut bersikap objektif, dan birokrasi kehilangan wibawa moralnya,” jelasnya.
Imam menyebut, tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), khususnya:
• Asas Kecermatan (karena keputusan tidak didasarkan pada data objektif dan analisis jabatan),
• Asas Kepastian Hukum (karena tidak ada dasar normatif yang jelas), dan
• Asas Tidak Menyalahgunakan Wewenang (karena keputusan digunakan untuk tujuan lain selain kepentingan organisasi).
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2) UU 30 Tahun 2014, tindakan yang menyalahgunakan wewenang seperti ini dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan dapat ditindaklanjuti secara etik oleh Komisi ASN.
“Pejabat yang dirugikan berhak menempuh upaya hukum administratif, baik melalui PTUN, Komisi ASN, maupun Ombudsman RI,” tegas Imam.
🧭 Konteks Politik dan Moralitas Jabatan
Imam juga menyinggung dimensi politik yang kerap membayangi keputusan birokrasi daerah. Ia menilai, jabatan Sekda sering kali dipersepsikan sebagai posisi strategis yang rentan terhadap intervensi kekuasaan.
“Sekda itu jabatan karier tertinggi di daerah, bukan jabatan politik. Maka setiap keputusan yang menyentuh posisi Sekda harus dilandasi etika publik, bukan kepentingan kekuasaan. Bila ASN diperlakukan seperti pion politik, maka Pemalang sedang mundur dari prinsip reformasi birokrasi,”
ujar Imam yang juga dikenal sebagai pengamat hukum pemerintahan daerah.
Ia menegaskan bahwa kepemimpinan daerah yang beradab adalah kepemimpinan yang menegakkan hukum di atas kepentingan pribadi atau kelompok.
Dari analisis hukum dan etika pemerintahan, langkah pencopotan Sekda Heriyanto melalui SK Bupati Pemalang Nomor 800.1.3.3/010/TAHUN 2025 dapat dinilai cacat secara administratif dan moralitas jabatan.
Apabila tindakan tersebut terbukti tidak sesuai dengan rekomendasi BKN atau tidak didasarkan pada pertimbangan kompetensi yang objektif, maka pihak yang dirugikan dapat menempuh langkah hukum administratif melalui PTUN atau laporan ke Ombudsman RI atas dugaan pelanggaran asas netralitas dan penyalahgunaan wewenang.
✍️ Tentang Narasumber
Dr.(c). Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM
Praktisi hukum dan akademisi hukum administrasi negara, Managing Partner Law Office PUTRA PRATAMA & Partners, dosen Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi di STIHP Pelopor Bangsa.
Dikenal sebagai pengamat tata kelola pemerintahan daerah dan pembela prinsip good governance di berbagai isu publik Jawa Tengah.

Editor: Suhermo GWI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *