Apakah Debat Publik Dalam Pilkada Tahun 2024 Dapat Merubah Arah Pemilih atau Hanya Sekedar Seremonial Tahapan dalam Pilkada?
Oleh: AJS Supeno, S.H
Radar Sindo Pemalang.com – Debat publik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari setiap tahapan pemilihan umum di Indonesia. Dalam setiap pilkada, debat publik selalu mendapat sorotan karena dianggap menjadi momen di mana kandidat bisa menampilkan program serta visi-misinya secara langsung kepada masyarakat. Namun, apakah debat publik ini benar-benar bisa mengubah arah pemilih? Ataukah debat ini hanya sekadar seremonial dalam tahapan pilkada?
Debat publik memiliki tujuan utama untuk memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat terkait kualitas dan integritas calon. Dalam momen tersebut, para kandidat diberikan kesempatan untuk menyampaikan ide, program, serta langkah konkret yang akan diambil jika terpilih nanti. Dengan demikian, idealnya debat publik menjadi ajang yang memungkinkan pemilih untuk membandingkan gagasan dan kapasitas tiap kandidat.
Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan bahwa debat publik tidak sepenuhnya efektif sebagai alat edukasi politik. Salah satu faktornya adalah mayoritas pemilih yang datang ke TPS umumnya sudah memiliki preferensi sebelum debat berlangsung. Ketika debat dimulai, mereka cenderung hanya mendukung dan mencari alasan untuk memperkuat pilihannya, bukan untuk mengevaluasi ulang. Hal ini seringkali terjadi terutama pada basis pemilih yang loyal atau fanatik.
Lebih lanjut, budaya politik di Indonesia yang kuat pada aspek figur dan kepribadian turut menjadi faktor yang menyebabkan debat publik lebih berperan sebagai seremonial. Banyak pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan faktor emosional, seperti kedekatan etnis, agama, atau keterikatan personal dengan kandidat, daripada mempertimbangkan visi-misi atau program yang dijanjikan. Kondisi ini menyebabkan debat publik hanya sekadar menjadi panggung bagi kandidat untuk meningkatkan popularitas, tanpa berdampak besar pada perubahan sikap pemilih.
Selain itu, keterbatasan waktu debat seringkali menjadi kendala dalam penyampaian visi-misi yang utuh. Dalam satu sesi debat, para kandidat harus menjawab berbagai pertanyaan dengan waktu yang sangat terbatas. Akibatnya, mereka cenderung memberikan jawaban yang bersifat dangkal atau retorika, ketimbang menjelaskan program yang konkret dan dapat diuji. Dalam beberapa kasus, debat malah menjadi arena bagi kandidat untuk menyerang lawan politiknya, yang dapat mengaburkan esensi debat itu sendiri sebagai sarana edukasi politik.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa debat publik tetap memiliki dampak positif. Setidaknya, bagi kelompok pemilih yang belum menentukan pilihan, debat bisa memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing kandidat. Kelompok pemilih yang kritis atau terdidik cenderung menggunakan debat sebagai referensi untuk menilai kompetensi kandidat dalam menyelesaikan permasalahan. Bagi kelompok ini, debat dapat membantu mereka dalam membuat keputusan yang lebih rasional.
Namun, jika kita melihat tren pilkada di Indonesia, kelompok pemilih kritis ini jumlahnya relatif kecil dibandingkan pemilih loyal yang telah menetapkan pilihan jauh sebelum debat berlangsung. Dengan demikian, efek debat terhadap perubahan arah pemilih menjadi tidak terlalu signifikan secara statistik.
Peran media dalam menyajikan hasil debat juga menjadi faktor penting. Jika media hanya menyoroti aspek sensasional dari debat, seperti adu argumen yang sengit atau kontroversi yang muncul, maka esensi debat sebagai edukasi politik akan hilang. Media seharusnya berperan lebih aktif dalam mengupas substansi dari program dan janji kampanye yang disampaikan kandidat dalam debat. Dengan demikian, informasi yang sampai kepada publik akan lebih kaya dan objektif.
Debat publik juga harus didukung oleh format yang lebih baik. Misalnya, penyelenggara dapat memberikan porsi waktu yang lebih panjang untuk kandidat menjawab pertanyaan terkait isu-isu krusial di daerah mereka. Selain itu, moderator dan panelis harus dipilih dari kalangan independen yang memiliki integritas, sehingga dapat memastikan bahwa debat berjalan dengan adil dan objektif.
Dalam konteks Pilkada 2024, debat publik masih menjadi bagian yang penting, tetapi tidak cukup untuk menjadi satu-satunya sarana bagi pemilih dalam menilai kandidat. Edukasi politik di masyarakat perlu diperkuat agar pemilih tidak sekadar memilih berdasarkan figur atau emosional, melainkan dengan mempertimbangkan kompetensi, rekam jejak, dan integritas kandidat.
Secara keseluruhan, meskipun debat publik belum sepenuhnya efektif dalam mengubah arah pemilih, namun masih tetap berperan sebagai salah satu komponen penting dalam proses demokrasi. Dengan perbaikan format debat, penguatan peran media, dan peningkatan edukasi politik, diharapkan debat publik dalam pilkada masa depan dapat lebih berfungsi sebagai alat edukasi yang efektif dan bukan sekadar seremonial belaka. Pada akhirnya, keberhasilan debat publik tidak hanya ditentukan oleh penyelenggara atau kandidat, tetapi juga oleh partisipasi aktif masyarakat dalam memilih dengan bijak.